Beberapa waktu yang lalu, kita dikejutkan lagi oleh tawuran antara mahasiswa Universitas Kristen
Indonesia (UKI) dan mahasiswa YAI. Pada tulisan saya ini, saya ingin menanggapi dan memberi pendapat pribadi saya dari sudut pandang saya yang juga sebagai seorang mahasiswa.
Saya lihat, UKI dan Universitas
Persada YAI sepertinya merupakan "calon seteru abadi" yang bertetangga. Saya berkata demikian karena seingat saya mereka bisa
dikatakan cukup sering melakukan hal seperti itu.
Memang, penyebab tawuran bisa berbagai macam. Dari pengalaman, biasanya pemicunya adalah hal -hal yang tidak begitu besar (kalau bukan masalah sepele). Paling parah mungkin adalah pemukulan. Akan tetapi, masalahnya bukan terletak pada penyebabnya melainkan pada cara menanggapi penyebab tersebut. Cara kita menanggapi suatu penyebab menunjukkan siapa diri kita sebenarnya. Inilah salah satu hal utama yang membedakan yang namanya mahasiswa dengan yang namanya preman. Mahasiswa menanggapi suatu penyebab dengan hati dan otak sedangkan preman menanggapi suatu penyebab dengan dengan emosi alias "darah tinggi".
Menurut saya, status mereka (mahasiswa yang tawuran itu) sebagai mahasiswa hanyalah topeng. Diri mereka sebenarnya jauh lebih condong menjadi preman. Lihatlah, betapa anarkisnya tindakan mereka. Mereka sama sekali tidak menunjukkan bahwa mereka adalah roda penggerak masa depan bangsa ini.
Lebih parah lagi, gedung universitas yang notabenenya merupakan saran pendidikan untuk kemajuan bangsa, ikut dilempari bom molotov sampai terbakar. Ya, ampun!!!! Apa sih salah gedung itu? Pernah nggak sih pelempar-pelempar bom molotov itu membayangkan bagaimana seandainya rumah merekalah yang dilempari bom molotov sampai terbakar? Benar-benar keterlaluan. Mereka hanyalah pencipta aib bagi mahasiswa dan orang-orang yang memperburuk citra mahasiswa di masyarakat. Sebagai seorang mahasiswa, saya benar-benar malu melihatnya. Barbar.
Saya pikir, sebaiknya mereka tidak usah mencela anggota-anggota DPR yang terlibat perkelahian waktu sidang karena kemungkinan besar merekalah penerus-penerus hal itu jika mereka "duduk" di sana nantinya. Mengapa saya berkata demikian? Sebab, bagaimana mereka bisa menahan emosi untuk hal-hal yang besar seperti urusan-urusan negara sedangkan untuk menahan emosi mereka untuk hal-hal yang jauh lebih kecil dapripada itu mereka tidak becus?
Akhir kata, saya ingin mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang pantas tersinggung atau marah karena tulisan saya ini sebab tulisan saya ini ada hanyalah karena keprihatinan saya yang begitu dalam yang berbuah rasa kesal dan sakit hati terhadap mahasiswa-mahasiswa seperti itu.